Djonews.com, KABUPATEN SEMARANG – Ratusan warga Tuntang, Kabupaten Semarang, bersama petani yang tergabung dalam Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) menggelar demonstrasi menentang penerapan sempadan rawa.
Menurut mereka, batas yang ditetapkan pemerintah saat ini menggerus lahan pertanian warga di Rawa Pening.
Perhitungan mereka, ada sekitar 1000 hektare lahan milik petani yang terdampak dan tak bisa lagi produktif. Dalam aksi, mereka membawa sejumlah poster bertuliskan keresahan terkait batas tersebut.
Warga menuntut agar mencabut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) NO: 365/KPTS/M/2020 terkait Batas Sempadan Kawasan Rawa Pening dalam Penanganan Sedimentasi di Danau Rawa Pening dan rencana revitalisasi Rawa Pening sebagai upaya penanganan danau kritis.
“Kami lakukan doa bersama, dimana doa bersama itu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar Kepmen berkaitan dengan Rawa Pening ini dicabut. Kepmen itu sangat mengganggu kami selaku petani maupun masyarakat pesisir Rawa Pening,” kata Bendahara FPRPB Ismail Saleh di sela aksi,
Lahan milik warga pesisir Rawa Pening sebagian besar terdampak akibat pergeseran batas sempadan.
“Kurang lebihnya, dari patok asli, gesernya sekitar satu kilometer dan ini semua yang terdampak yakni lahan milik masyarakat. Pada aturan lama, antara batas tanah rakyat dengan tanah negara itu sudah jelas,” paparnya.
“Itu aturan dulu tapi setelah ada aturan baru, akhirnya batas tersebut sampai ke tanah masyarakat,” imbuhnya.
Saat ini, ada dua batas atau patok, yakni patok berwarna kuning yang merupakan patok sempadan Rawa Pening, dan patok biru adalah batas air yang naik dari Rawa Pening.
“Beberapa desa pesisir Rawa Pening terdampak, misalnya Desa Lopait, Tuntang, Asinan, Bejalen, itu berkaitan dengan permukiman,” jelasnya.
“Dan, yang berkaitan dengan sawah, yakni semua desa pesisir Rawa Pening terdampak,” tambahnya.
Menurutnya, protes ini sudah dilakukan sejak dulu, bahkan telah disampaikan ke presiden. Namun, hingga kini, belum ada respon.
“Sosialisasi Kepmen ini tidak mengena pada sasaran, tidak dikomunikasikan kepada warga masyarakat,” katanya.
Akibat munculnya Kepmen PUPR tersebut, menurut Ismail, seribu hektare lahan tak bisa ditanami padi.
Sudah dua tahun ini, petani Rawa Pening tidak dapat bercocok tanam.
“Kerugian mereka, para petani, luar biasa. Kalau dikatakan satu hektare Rp 40 juta, jadi kurang lebih ada Rp 40 miliar kerugian dalam sekali panen,” paparnya.
Selain itu, ada juga dampak bagi petani setelah dilakukan penurunan debit air Rawa Pening.
“Setelah dilakukan penurunan debit air dan dikembalikan ke semula oleh pemerintah kabupaten, tapi itu juga membawa masalah bagi kami,” ucapnya.(Muhammad Aries Nugroho)
Tinggalkan Balasan